Mataram, Suara Guru NTB - PGRI mempunyai peranan strategis dalam reformasi pendidikan nasional. Kepada anggotanya PGRI berperan dan bertanggung jawab untuk memperjuangkan dalam upaya mewujudkan serta melindungi hak-hak asasi dan martabat guru khususnya dalam aspek profesional dan kesejahteraannya. Untuk itu, PGRI mengupayakan penggalangan persatuan dan kesatuan para guru, meningkatkan kualitas profesionalisme, dan secara konsisten terus memperjuangkan kesejahteraan para guru, itulah bagian yang dilakukan oleh ketua PGRI Prov. NTB Drs.H.M.Ali H.Arahim.
Sebagai mitra pemerintah dan masyarakat, PGRI berperan untuk menyukseskan terwujudnya pendidikan nasional yang efektif. PGRI memberikan masukan, evaluasi, koreksi secara konsepsional-profesional kepada pemerintah dan masyarakat. Jadilah guru yang tidak muah mengeluh, tapi jadikan setiap tantangan adalah ladang pahala untuk brjuang memberikan yang terbaik, dalam perjuangan PGRI hingga kini dapat kita rasakan dan piluh menyedihkan kembali Dirjen PMPTK di bubarkan fenomena ini membuat kita teringkat kembali pada sejarah di masa Kolonial, “Ketika Jepang hancur lebur setelah dibom Sekutu dalam Perang Dunia ke II, pertama-tama yang ditanyakan pihak penguasa (Kaisar), Berapa guru yang masih hidup?
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa guru memegang posisi yang sangat penting dalam membangun suatu negara yang telah hancur itu ternyata benar”. Dirjen PMPTK terbentuk tidak terlepas dari perjuangan PGRI, hingga kini ketua PGRI Prov. NTB Drs.H.M.Ali H.Arahim, bergandengan tangan bersama dalam barisan menyuarakan aspirasi dalam Demo Damai (3/5/2010) menolak pembubaran dirjen PMPTK dan menuntut untuk dikeluarkan peraturan pemerintah (PP) sebagai payung hukum guru honorer yang selama ini “dipandang sebelah mata, jangan ada dusta diantara kita” yang di ikut sertakan oleh ribuan guru dan kepala sekolah di Nusa Tenggara Barat dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai pada guru dan kepala sekolah menengah atas (SMA) yang ikut merasakan dengan nasib guru. Dirjen PMPTK dibubarkan sama artinya “guru dimarginalkan dan tangung jawab terhadap pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa tidak ada yang membedakan guru honor dan guru negeri sama punya tangung jawab”, tegas ketua PGRI Prov. NTB.
Menengok ke belakang, dengan bermodalkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas kini Jepang menjadi negara maju di Asia walau miskin sumber daya alam. Majunya Jepang tentulah karena guru (pendidikan) diberikan perhatian yang begitu besar dalam membangun kembali negeri Sakura itu. Bagaimana keberadaan guru di negara kita? Secara administrasi, kualifiasi guru maupun dosen umumnya sudah memenuhi persyaratan. Tetapi, mengapa dikatakan mutu pendidikan kita ada di tataran bawah di antara negara ASEAN? Ada informasi, dulu Malaysia belajar dari Indonesia, sekarang Malaysia lebih makmur, lebih maju pendidikannya? Kini justru Indonesia belajar ke Malaysia dengan mengirim gurunya ke situ, baik untuk belajar maupun kunjungan singkat dalam menambah pengetahuan dan wawasan para guru. Melihat mutunya, tentu ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan di negara kita. “Pahlawan tanpa tanda jasa” suatu ungkapan klasik, namun tetap menarik untuk diperbincangkan sampai kini lebih-lebih pada peringatan “Hari Guru” (25 November). Betapa tidak, dengan predikat ini seolah guru sudah berkecukupan hidupnya. Nyatanya sebagian besar guru seolah sudah siap mental untuk hidup melarat. Karena itu banyak guru kita mengambil pekerjaan sampingan; menjadi guru honor di sekolah swasta, ikut memberi les yang dibuka pihak swasta, bahkan ada yang mengambil pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan, misalnya makelar – kalau bukan petani/peternak.
PGRI mewadahi kaum guru dalam upaya mewujudkan hak-hak asasinya sebagai pribadi, warga negara, dan pengemban profesi. Namun, kinerja guru memang tidak lepas dari sistem yang menjadi keputusan pemerintah, di pusat maupun di daerah. Untuk itulah organisasi guru (PGRI) diharapkan berperan banyak dalam membenahi kinerja guru sehingga bisa menghasilkan SDM yang berkualitas baik dari sisi penguasaan ilmu, budaya kerja, maupun sikap mental. Memang aksi ke arah seperti itu ada. Kemandirian guru sebagai salah satu syarat bagi terwujudnya kinerja pendidikan nasional, merupakan kepedulian utama organisasi guru. PGRI merupakan wadah rasa kesejawatan para guru untuk melakukan kegiatan bersama dalam mencapai kepentingan dan tujuan bersama; kepentingan pendididkan nasional maupun profesionalisme guru.
PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan merupakan wadah perjuangan hak-hak asasi guru sebagai pekerja,terutama dalam kaitan demi terwujudnya kesejahteraan. Di samping pengembangan profesionalisme. Guru sebagai kelompok tenaga kerja profesional juga memerlukan jaminan yang pasti yang menyangkut hukum. Sayang, sampai kini kondisi seperti itu masih berupa harapan. Akankah semua ini akan terwujud setelah undang-undang guru dan dosen disahkan?. Jika undang-undang jadi diberlakukan, akankah kesejahteraan guru menjadi lebih baik? Akankah pemerintah memiliki anggaran yang cukup? Selama ini kendala untuk mensejahterakan guru pastilah alasan klasik, negara tidak punya dana untuk itu. Alasan lainnya, jumlah guru paling banyak di antara PNS.[Opiek]
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa guru memegang posisi yang sangat penting dalam membangun suatu negara yang telah hancur itu ternyata benar”. Dirjen PMPTK terbentuk tidak terlepas dari perjuangan PGRI, hingga kini ketua PGRI Prov. NTB Drs.H.M.Ali H.Arahim, bergandengan tangan bersama dalam barisan menyuarakan aspirasi dalam Demo Damai (3/5/2010) menolak pembubaran dirjen PMPTK dan menuntut untuk dikeluarkan peraturan pemerintah (PP) sebagai payung hukum guru honorer yang selama ini “dipandang sebelah mata, jangan ada dusta diantara kita” yang di ikut sertakan oleh ribuan guru dan kepala sekolah di Nusa Tenggara Barat dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai pada guru dan kepala sekolah menengah atas (SMA) yang ikut merasakan dengan nasib guru. Dirjen PMPTK dibubarkan sama artinya “guru dimarginalkan dan tangung jawab terhadap pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa tidak ada yang membedakan guru honor dan guru negeri sama punya tangung jawab”, tegas ketua PGRI Prov. NTB.
Menengok ke belakang, dengan bermodalkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas kini Jepang menjadi negara maju di Asia walau miskin sumber daya alam. Majunya Jepang tentulah karena guru (pendidikan) diberikan perhatian yang begitu besar dalam membangun kembali negeri Sakura itu. Bagaimana keberadaan guru di negara kita? Secara administrasi, kualifiasi guru maupun dosen umumnya sudah memenuhi persyaratan. Tetapi, mengapa dikatakan mutu pendidikan kita ada di tataran bawah di antara negara ASEAN? Ada informasi, dulu Malaysia belajar dari Indonesia, sekarang Malaysia lebih makmur, lebih maju pendidikannya? Kini justru Indonesia belajar ke Malaysia dengan mengirim gurunya ke situ, baik untuk belajar maupun kunjungan singkat dalam menambah pengetahuan dan wawasan para guru. Melihat mutunya, tentu ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan di negara kita. “Pahlawan tanpa tanda jasa” suatu ungkapan klasik, namun tetap menarik untuk diperbincangkan sampai kini lebih-lebih pada peringatan “Hari Guru” (25 November). Betapa tidak, dengan predikat ini seolah guru sudah berkecukupan hidupnya. Nyatanya sebagian besar guru seolah sudah siap mental untuk hidup melarat. Karena itu banyak guru kita mengambil pekerjaan sampingan; menjadi guru honor di sekolah swasta, ikut memberi les yang dibuka pihak swasta, bahkan ada yang mengambil pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan, misalnya makelar – kalau bukan petani/peternak.
PGRI mewadahi kaum guru dalam upaya mewujudkan hak-hak asasinya sebagai pribadi, warga negara, dan pengemban profesi. Namun, kinerja guru memang tidak lepas dari sistem yang menjadi keputusan pemerintah, di pusat maupun di daerah. Untuk itulah organisasi guru (PGRI) diharapkan berperan banyak dalam membenahi kinerja guru sehingga bisa menghasilkan SDM yang berkualitas baik dari sisi penguasaan ilmu, budaya kerja, maupun sikap mental. Memang aksi ke arah seperti itu ada. Kemandirian guru sebagai salah satu syarat bagi terwujudnya kinerja pendidikan nasional, merupakan kepedulian utama organisasi guru. PGRI merupakan wadah rasa kesejawatan para guru untuk melakukan kegiatan bersama dalam mencapai kepentingan dan tujuan bersama; kepentingan pendididkan nasional maupun profesionalisme guru.
PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan merupakan wadah perjuangan hak-hak asasi guru sebagai pekerja,terutama dalam kaitan demi terwujudnya kesejahteraan. Di samping pengembangan profesionalisme. Guru sebagai kelompok tenaga kerja profesional juga memerlukan jaminan yang pasti yang menyangkut hukum. Sayang, sampai kini kondisi seperti itu masih berupa harapan. Akankah semua ini akan terwujud setelah undang-undang guru dan dosen disahkan?. Jika undang-undang jadi diberlakukan, akankah kesejahteraan guru menjadi lebih baik? Akankah pemerintah memiliki anggaran yang cukup? Selama ini kendala untuk mensejahterakan guru pastilah alasan klasik, negara tidak punya dana untuk itu. Alasan lainnya, jumlah guru paling banyak di antara PNS.[Opiek]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar